Species Baru

Selasa, 11 Agustus 2009

Resistensi antibiotika

TES SENSITIFITAS UNTUK MENENTUKAN
RESISTENSI ANTIBIOTIKA
dr. Ridha Wahyutomo
Bagian Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran UNISSULA

Abstract
Antimicrobial drugs or antibiotics are among the most commonly prescribed drugs in medical practice. This is because of Infectious diseases are one of the leading causes of death worldwide. But more extensive use of antibiotics leads to problems. Inappropriate prescribing, dose, indication, etc, create new bacteria strain increasingly resistant to a wide variety of antimicrobial agents. Although new antibiotics continue to be developed by pharmaceutical manufacturers, the microbes seem to quickly find ways to avoid their effects.
So, there is a need for the use of method to detect this resistance so that special precautions are quickly instituted to prevent transfer of the resistant bacteria among patients. There are many methods to detect this resistance so called sensitivity test.
Key words: Antibiotics, resistant, sensitivity test

I. PENDAHULUAN
Suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menangani suatu penyakit dinamakan kemoterapi. Agen kemoterapi yang dihasilkan dari hasil metabolisme bakteria atau jamur disebut antibiotika (Leong, 1999). Namun ada pula antibiotika yang dibuat dari bahan kimia atau campuran antara bahan kimia dan alami yang senyawanya memiliki efek sama dengan antibiotika alami, antibiotika ini disebut antibiotika semisintetis ataupun sintetis (Bauman, 2007).
Semenjak ditemukannya antibiotika pertama yaitu penemuan sulfonamide pada tahun 1935 (Jawetz, 2007), pemakaian antibiotika dalam klinik meningkat. Penemuan suatu antibiotika, harus memenuhi kaidah-kaidah farmasi, termasuk di dalamnya syarat karakter yang harus dimiliki oleh suatu antibiotika
Secara umum sebaiknya obat antibiotika mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
· Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak hospes
· Bersifat bakterisidal dan bukan bakteriostatik
· Tidak menyebabkan resistensi pada bakteri
· Berspektrum luas
· Tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila dipergunakan dalam jangka waktu yang lama
· Tetap aktif dalam plasma, cairan tubuh atau eksudat
· Larut di dalam air dan stabil
· Kadar bakterisidal di dalam tubuh cepat tercapai dan bertahan dalam waktu lama.
(Unibraw, 2003)
Keberhasilan antibiotika dalam mengatasi infeksi bakteri, diikuti dengan resistensi bakteri pada antibiotika. Hal ini telah mengurangi efektifitas antibiotika dan memacu perusahaan farmasi untuk mendapatkan dan memproduksi antibiotika yang baru, lebih efektif, dan bahkan dengan dosis yang lebih kuat (Warsa, 1990). Secara ekonomis hal ini juga tidak menguntungkan, karena terjadi peningkatan biaya yang harus ditempuh untuk jenis antibiotika yang baru.
Antibiotika diberikan secara tepat sesuai diagnosa penyebab penyakit infeksinya. Untuk menentukan penyebab penyakitnya, maka secara ideal diperlukan diagnosa bakteriologik dan tes kepekaan bakteri terhadap antibiotika. Tes tersebut dalam laboratorium mikrobiologi disebut tes sensitifitas.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. EPIDEMIOLOGI
Pengamatan terhadap masalah resistensi antibiotika telah berlangsung semenjak tahun 1902 oleh dr. Paul Ehrlich dengan pengamatan pada tikus yang sudah diinfeksi dengan Trypanosoma dan diobati dengan zat warna azo, arsenil organik, dan trifenilmeton. Namun kemudian ditemukan kejadian dimana ada strain Trypanosoma menjadi resisten setelah kontak dengan obat-obat tersebut (Warsa, 1990).
Namun pengamatan yang mendalam diawali dari ditemukannya staphylococcus yang resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an. Sejak itu resistensi tunggal maupun multiple (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar tahun 1950-an (Dwiprahasto, 2005). Bakteri yang diamati dari gastrointestinal tersebut adalah Enterococcus, yaitu pada kejadian enterococcal endocarditis yang tidak mempan diterapi menggunakan penisilin seperti halnya streptococcal endocarditis. (Arias, 2008).
Beberapa antibiotik dibuat untuk mengatasi resistensi tersebut, sebagai contoh adalah vancomycin yang sangat efektif menangani infeksi Staphylococcus. Tetapi, pada tahun 1997, strain dari Staphylococcus aureus resisten terhadap Vancomycin dilaporkan di Jepang dan Amerika Serikat. Antara tahun 1993 sampai tahun 1997, frekuensi resistensi terhadap penisilin juga meningkat dari 14% menjadi 25%. (Cassell, 2001). Resistensi vancomycin pada Staphylococcus aureus ada juga yang disertai Resistensi multipel/Multiple-drug-resistant (Weigel, 2003).
Masalah resistensi juga pernah tercatat sebagai outbreak dengan munculnya kuman-kuman resisten MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus), ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase), VRE (Vancomycin Resistant Enterococci) dan multiresisten Pseudomonas aeruginosa P12 yang timbul di ICU rumah sakit de Pau, Perancis, th 2000 (Diana, 2001)
Dari penelitian di Indonesia, di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dan RSUP dr. Kariadi Semarang didapatkan pada 50 bahan pemeriksaan dari fasilitas di ruang perawatan intensif ditemukan 26 galur MRSA (52%), 30 pasien dengan bakteremia di ruang perawatan intensif ditemukan 17 galur MRSA (56,6%), serta pada 70 petugas ruang perawatan intensif ditemukan 61,4% atau 43 galur MRSA (Wahyono, 2005).

B. MEKANISME KERJA ANTIBIOTIKA
Klasifikasi antibiotika berdasarkan cara kerja antibiotika tersebut terhadap kuman, yakni antibiotika yang bersifat primer bakteriostatik dan antibiotika yang bersifat primer bakterisid.
Pembagian lain juga sering dikemukakan berdasarkan makanisme atau tempat kerja antibiotika tersebut pada kuman, yakni
1. Antibiotika yang menghambat sintesis dari dinding sel, termasuk dalam kelompok ini adalah kelas ß lactam seperti penicillin, cephalosporin, dan carbapenem. Juga antibiotika seperti cycloserine, vancomycin, dan bacitracin.
2. Antibiotika yang bekerja langsung bekerja pada membran sel bakteri, meningkatkan permeabilitas dan mendorong kebocoran susunan intrasel, contohnya polymyxin; polyene antifungal agents (nystatin dan amphotericin B).
3. Antibiotika yang mengganggu fungsi dari subunit ribosom 30S atau 50S yang akan menyebabkan penghambatan sintesis protein. Contohnya chloramphenicol, tetracyclines, erythromycin, clindamycin, streptogramins, dan linezolid
4. Antibiotika yang berikatan dengan subunit ribosom 30S dan merubah sintesis protein. Contohnya adalah aminoglikosida
5. Antibiotika yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat, seperti rifampin dan rifabutin, yang menghambat RNA Polymerase dan quinolones, yang menghambat topoisomerase.
6. Antibiotika termasuk trimethoprim dan sulfonamide, yang menghalangi enzim esensial dari metabolisme folat. (Chambers, 2006)

C. RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIKA
Resistensi bakteri memiliki beberapa pengertian, antara lain :
1. Inaktifasi obat
Ketidak efektifan obat dapat dihasilkan dari enzim spesifik seperti ß lactamase yang diproduksi oleh bakteri menyumbat sistem kerja antibiotika, misalnya antibiotika gagal melewati membrane sel.
2. Perubahan target obat
Bakteri dapat merubah protein pengikat penisilin (PBPs/Penicillin Binding Proteins) sebagai contoh MRSA yang terjadi perubahan PBPs sehingga ß lactam tidak dapat berikatan dengan komponen sel bakteri.
Hal serupa juga terjadi pada Vancomycin Resistant Enterococci dapat merubah ikatan area akhir D-ala D-ala menjadi D-ala L-lys. Ikatan ini dapat dikenali oleh enzim transpeptidase bakteri tetapi tidak dikenali oleh Vancomycin. Contoh lain adalah resistensi erythromycin melalui perubahan subunit ribosom 50s.
3. Berkurangnya keutamaan area target kerja antibiotik
Sebagai contoh, pada pengobatan abses tidak dapat diterapi dengan sufonamid karena tidak efektif menangani infeksi yang menyebar. Sulfonamid bekerja menghambat sintesis asam folat, sedangkan asam folat digunakan untuk sintesis nukleotida DNA. Pada abses ditemukan banyak sekali sel mati, termasuk di dalamnya DNA yang tersebar di abses tersebut sehingga seolah-olah bakteri berada dalam lautan nukleotida yang menjadi bahan baku sintesis DNA tersebut. Bakteri tidak membutuhkan asam folat dalam kondisi abses.
4. Produksi berlebih pada sel target
Sebagai contoh adalah trimethoprim, bakteri mampu memproduksi DHFR (Dihydrofolate Reductase) secara berlebihan untuk menghambat kerja trimethoprim
5. Berkurangnya jalur antibiotika menuju sel target
Bakteri dapat merubah membrane protein terluarnya, misalnya porin, yang digunakan antibiotika untuk masuk ke dalam sel bakteri. Sehingga jalan masuk tersebut ditutup, meskipun tidak menhalangi total karena antibiotika masih mampu masuk lewat jalur lain. Namun ini mengakibatkan timbulnya resistensi yang memicu peningkatan dosis antibiotika.
Sebagai contoh pada infeksi oleh gonococcus (Neisseria gonorrhoea), resistensi pada penisilin terjadi karena adanya perubahan permeabilitas penisilin. Hal ini yang menyebabkan dosis untuk menangani infeksi gonococcus selalu meningkat.
6. Kegagalan untuk mengaktifkan prodrug non aktif
Hilangnya gen yang mengatur enzim pengaktif prodrug. Sebagai contoh adalah izoniazid (Duy, 1997)

D. ASAL USUL RESISTENSI BAKTERI
1. Asal resistensi obat nongenetik
Hampir semua antibiotika bekerja dengan baik pada masa pembelahan sel bakteri, sehingga bakteri yang tidak aktif membelah pada umumnya resisten terhadap obat. Misalnya Mycobacterium tuberculosa yang berada di dalam jaringan tidak akan membelah.
Kemampuan bakteri menghilangkan struktur target dari antibiotika, contohnya adalah bakteri yang menghilangkan struktur dinding sel akan resisten terhadap antibiotika yang bekerja pada dinding sel.
Bakteri yang menginfeksi di bagian tubuh yang tidak dapat dicapai oleh antibiotika akan resisten terhadap antibiotika. Sebagai contoh adalah resistensi Salmonella typhi oleh karena bakteri berada intraseluler.
2. Resistensi genetik
a. Resistensi kromosomal
Resistensi kromosomal terjadi karena mutasi spontan akibat mekanisme seleksi terhadap supresi oleh obat. Misalnya hilangnya reseptor PBPs (Penicillin Binding Proteins) terhadap antibiotika ß lactam.
b. Resistensi ekstra kromosomal
Bakteri mengandung materi kinetik ekstra kromosomal yang disebut plasmid. Plasmid merupakan molekul DNA yang melingkar (sirkuler) dan mempunyai ciri-ciri :
· Mempunyai berat ± 1-3 % dari kromosom bakteri
· Berada bebas dalam sitoplasma bakteri
· Adakalanya dapat bersatu dengan kromosom bakteri
· Dapat melakukan replikasi sendiri secara otonom
· Dapat berpindah atau dipindahkan dari satu spesies ke spesies lain. Misalnya Di Antara E. coli dan V. cholerae
(UNBRAW, 2003)

E. DIAGNOSIS LABORATORIUM
Fungsi penting dari diagnosa laboratorium mikrobiologi untuk membantu dokter pada area klinik menentukan antibiotika yang efektif untuk pengobatan spesifik penyakit infeksi. Setiap pasien dengan infeksi, sebaiknya dilakukan tes sensitifitas in vitro, sehingga antibiotika yang tepat dapat ditentukan dan diberikan pada pasien. Tes sensitifitas juga menunjukkan bahwa bakteri menjadi semakin resisten terhadap berbagai sediaan antibiotika.
Ada beberapa cara tes sensitifitas, namun semua tes tersebut harus memenuhi kriteria:
o Menyediakan informasi yang akurat dan cepat
o Harga relatif terjangkau/murah
o Mudah untuk dilakukan
Tes sensitifitas dapat dilakukan dengan berbagai cara :
A. Dilusi cair atau dilusi padat
Pendekatan yang lebih kuantitatif untuk menguji sensitifitas bakteria terhadap suatu antibiotik atau mencari nilai Minimum Inhibitory Concentration: MIC (Leong, 1999). Pada dasarnya antibiotik diencerkan sampai didapatkan beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masing-masing konsentrasi obat ditambah suspensi kuman dalam media cair, sedangkan pada dilusi padat tiap konsentrasi obat dicampur dengan media agar lalu ditanam kuman. Ada beberapa metode dilusi, yaitu: Broth macrodilution, Microdilution, dan Agar dilution tests
(Vyas, 2008)
B. Difusi
Memakai media Mueller Hinton agar. Ada beberapa cara :
1.Cara Kirby Bauer (diambil dari nama ahli mikrobiologi W. Kirby dan A. W. Bauer di tahun 1966). atau disebut filter paper disk agar diffusion method, juga dikenal sebagai NCCLS/National Committee for Clinical Laboratory Standards (Harley, 2002). Prosedurnya sebagai berikut:
a. Diambil beberapa koloni kuman lalu disuspensikan ke dalam 0,5 ml BHI (Brain Heart Infusion) cair, diinkubasikan 4 jam pada 37 C
b. Suspensi tsb ditambah dengan aquades steril hingga kekeruhan tertentu sesuai dengan standard konsentrasi kuman 108 CFU per ml (Colony Forming Unit)
c. Kapas lidi steril dicelupkan ke dalam suspensi kuman lalu ditekan-tekan pada dinding tabung hingga kapasnya tidak terlalu basah, lalu dioleskan pada permukaan media agar hingga rata
d. Lalu diletakkan kertas samir/disk yang mengandung antibiotik diatasnya, inkubasi dalam suhu 37 C selama 18-24 jam
Pembacaan hasil :
Jika tidak ada penghambatan, perkembangan meluas dari cakram pada semua sisi dan organisme dilaporkan resisten (R). Jika terdapat zona hambatan di sekitar disk, harus diukur diameter zona hambatnya kemudian dibandingkan dengan table standard an bila masih sensitive diberikan simbol Susceptible (S). Pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasikan apakah antibiotika tersebut sensitive atau resisten. Untuk kasus tersebut diberi simbol (I) atau Intermediate
Hasil tes Kirby-Bauer
Dalam gambar tampak hasil tes A sampai dengan E masih terdapat zona hambat di sekitar antibiotik disk, yang berarti kuman tersebut peka terhadap antiobiotik tersebut. Sedangkan F tidak terdapat zona hambat di sekitar antibiotik disk, yang berarti kuman tersebut resisten terhadap antibiotik tersebut.
(Morello, 2003)
2. Cara Joan-Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona hambatan yang terjadi antara bakteri control yang sudah diketahui kepekaannya terhadap obat tersebut dengan isolate bakteri yang diuji. Pada cara ini, prosedur tes sensitifitas untuk bakteri control dan bakteri uji dilakukan bersama-sama dalam satu piring agar.
C. Antimicrobial Gradient
Cara ini termasuk cara baru, dengan menggunakan satu jenis antibiotika dengan beberapa derajat konsentrasi yang diletakkan pada strip plastik, sering disebut E-test. Prinsipnya hampir serupa dengan cara Kirby Bauer, yaitu meletakkan strip pada agar Muller Hinton, kemudian dilakukan inkubasi 12 jam dan dilakukan pengamatan adanya zona hambat.
Zona hambat
E-test
D. Short-Incubation Automated Instrument Systems (SIAIS)
FDA (Food and Drugs Administration) memperkenalkan dua system untuk tes sensitifitas yang lebih cepat dan akurat, yaitu MicroScan walk away dan Vitek systems. Kedua system ini menggunakan tehnik yang sama both systems utilize similar techniques. Sebuah penampang microdilution diberi bakteri dengan jumlah yang telah diketahui sebelumnya. Kemudian beberapa antibiotika dapat diberikan pada penampang microdilution. Dalam 3 sampai 10 jam akan muncul pada software, informasi mengenai reaksi, identifikasi bakteri, dan pola resistensi antibiotika. Cara ini merupakan cara terbaru dan menggunakan tekhnologi tercepat.
(Vyas, 2008)
E. Deteksi Gen Penyandi Resistensi
Deteksi ini mencari gen berupa segmen DNA atau RNA. Ada beberapa metode yang dipakai, antara lain RRP (Reaksi Rantai Polimerase) dan RRP-LiPA (RRP- Line Probe Assay). Cara ini belum luas dipakai karena rumit dan mahal. Namun, cara ini lebih cepat karena tidak perlu melalui tahapan isolasi dan pembiakan bakteri (Sjahrurachman, 2000)

KESIMPULAN
Antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam klinik karena jumlah penyakit infeksi masih menduduki peringkat tertinggi. Selaras dengan pemakaianya timbul masalah resistensi dari bakteri terhadap berbagai jenis antibiotika sehingga menimbulkan banyak problem dalam pengobatan penyakit infeksi. Beberapa penelitian di sarana kesehatan termasuk rumah sakit telah menunjukkan adanya resistensi bakteri yang sangat tinggi.

SARAN
Pada dasarnya ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko resistensi, antara lain melakukan optimalisasi terapi, seleksi antibiotika secara lebih seksama, penetapan dosis, cara, dan lama terapi yang lebih rasional. Penggunaan pedoman terapi infeksi juga harus didorong, khususnya dengan memanfaatkan bukti-bukti ilmiah terbaru (current best evidence) yang lebih dapat dipercaya validitasnya. Bukti tersebut dapat diperoleh dari pemanfaatan laboratorium mikrobiologi klinik untuk melakukan tes sensitifitas dalam rangka meminimalkan risiko terjadinya resistensi bakteri.







Daftar Pustaka
Arias, A.C., Murray, B.E., 2008, Mechanisms of Antibiotics Resistance in Enterococci, www. Up date.com

Bauman, R. W., 2007, Microbiology With Diseases by Taxonomy, 2nd edition, Pearson Education Inc, San Fransisco, 301-302

Cassell, G.H., Mekalanos, J., 2001, Development of Antimicrobial Agents in the Era of New and Reemerging Infectious Diseases and Increasing Antibiotic Resistance, JAMA, 2001; 285(5), 601-605

Chambers, H.F., 2006, General Principles of Antimicrobial Therapy, In: Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, McGraw-Hill Companies, New York, 316-317

Diana, G., 2001, Efesiensi Penggunaan Antibiotika, Dalam : Naskah Presentasi Pola Kuman Rumah Sakit Husada Juli-Desember 2001, Jakarta, 2

Duy, T., 1999, Clinical Pharmacology, www.geocities.com/d.thai/pharm_pdf

Dwiprahasto, I., 2005, Kebijakan Untuk Meminimalkan Resiko Terjadinya Resistensi Bakteri Di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit, JMPK, Vol. VIII, No.04, Desember 2005, 177-180

Harley, Prescott, 2002, Laboratory Exercises in Microbiology, 5th Edition, McGraw−Hill Companies, New York, 257-260

Jawetz, Melnick, Adelberg, 2007, Antimicrobial Chemotherapy, In : Jawetz, Melnick, and Adelberg's Medical Microbiology, 24th Edition, McGraw-Hill Companies, New York, 163-166

Leong, Y.K., Aziz, H.A., Yasin, S.M., 1999, Ujian Sensitiviti Antibiotik In Vitro, Dalam: Makmal Mikrobiologi, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, 91-94

Morello, Mizer, Granatto, 2003, Laboratory Manual and Workbook in Microbiology, McGraw−Hill Companies, New York, 95-97

Sjahrurachman, A., 2000, Cara Genetis Untuk Menentukan Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotika, Medika, No. 1, Januari Tahun 2000, 31

Unbraw, 2003, Obat Antimikroba, Dalam: Bakteriologi Medik, Bayumedia Publishing, Malang, 105-123

Vyas, J. M., Ferraro, M. J., 2008, Overview of antibacterial susceptibility testing, www. Up date.com

Wahyono, H., 2005, Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) pada Penderita dengan Bakteremia di Ruang Perawatan Intensif RS. Hasan Sadikin dan RS. Kariadi, Jurnal MMI, Vol. 40, No. 1, Tahun 2005, 3

Warsa, U. C., Josodiwondo, S., Rahim, A., Santoso, U. S., 1990, Penggunaan Antibiotika Secara Rasional dan Masalah Resistensi Kuman, Yayasan Melati Nusantara, Yogyakarta, 33-41

Weigel, L.M., Clewell, D.B., et al, 2003 Genetic analysis of a high-level vancomycin-resistant isolate of Staphylococcus aureus, Science, No. 302, 1569-1571.