Species Baru

Selasa, 28 Desember 2010

BIO FILM

BIO FILM

Film Star In Antibiotic Resistance

Bagian 1

dr. Ridha Wahyutomo

Mahasiswa PPDS-Mikrobiologi Klinik FK UNDIP

26/12/2010 07:50 WIB

PENDAHULUAN

Bakteri terdiri atas dua bentuk kehidupan, planktonic (mengapung dan bergerak) dan sessile (keadaan diam). Planktonic penting untuk proliferasi cepat dan penyebaran ke lingkungan yang baru. Sessile, faktor pertumbuhan lambat untuk konsistensi. Penelitian mengungkapkan bahwa bakteri yang melekat pada media atau jaringan, dapat tumbuh dalam sebuah struktur yang disebut biofilms, yang dapat ditemui di hampir seluruh ekosistem, baik netral ataupun patogenik. Biofilm didefinisikan sebagai struktur mikroba untuk menempel antar mikroba atau ke permukaan jaringan. Penempelan ini melibatkan senyawa matriks biopolymer atau matriks polimer ekstraseluler yang diproduksi oleh mikroba. Matrik ini berupa struktur benang-benang bersilang satu sama lain yang dapat berupa perekat bagi biofilm.

KOMPOSISI BIOFILM

Komposisi Biofilm merupakan struktur yang dinamik dan kompleks. Permukaan jaringan umumnya dalam keadaan normal mengandung air, lipid, albumin, matriks polimer ekstraseluler atau mutrisi dari lingkungan sekitar. Bakteri menempel pada permukaan, pada awalnya dalam ikatan reversible dan kemudian perlekatan irreversible yang dengan cepat membentuk perlekatan biofilm berstruktur kokoh. Biofilm yang sudah masak memberi gambaran perkembangan yang cepat dan terdiri dari struktur berbentuk pilar yang menempel dalam extracellular polymer matrix atau glycocalyx dengan jumlah banyak, disekat oleh saluran berisi air dan mengalir yang menjadi transport nutrisi dan oksigen ke bagian dalam biofilm dan membuang sampah metabolik.

Proses perlekatan mikroba dipengaruhi beberapa hal termasuk spesies bakteri, komposisi permukaan sel, kondisi alami permukaan jaringan, ketersediaan nutrisi, hidrodinamik, komunikasi antar sel, dan regulasi global dalam jaringan. Ada 3 fase dalam pembentukan biofilm. Pertama ditandai distribusi sel yang ditempel oleh motilitas permukaan. Kedua, terjadi pembelahan dari sel yang dilekati. Ketiga, agregasi sel atau kelompok sel dari sebagian cairan membentuk biofilm.



BIO FILM MIKROSKOP ELEKTRON
BIOFILM Staphylococcus

Minggu, 26 Desember 2010

SPECIMEN GASTROINTESTINAL

SPECIMEN GASTROINTESTINAL

Swab Rectal dan Anal

dr. Ridha Wahyutomo

Mahasiswa PPDS Mikrobiologi Klinik FK UNDIP

24 Desember 2010 jam 03.00 WIB

Pemilihan Spesimen

* Rectal swab hanya dapat dilakukan bila diare diambil dari bayi atau orang dewasa dengan diare akut. Tidak pula untuk deteksi toxin Clostridium difficile.

* Swab untuk kultur pathogen enteric harus mendapatkan feces juga. Karena anal swab saja tidak akan mendapatkan bakteri penyebab diare yang sebenarnya.

* Kultur rutin diindikasikan jika mencari Salmonella, Shigella dan campylobacter. Jika curiga keterlibatan kuman-kuman tersebut maka harus disampaikan pada laboratorium mikrobiologi klinik. Begitu piula untuk E.coli O157:H7, Yersinia, Vibrio, Aeromonas, Pleisomonas.

Pengambilan Spesimen

1. Material

© Swab

© Medium transport (jika perlu)

2. Metode

* Dengan hati-hati masukkan swab ke dalam spinchter anal.

* Putar swab.

* Tarik swab. harus ada feces yang terambil.

* Letakkan dalam medium transport.

* Khusus kecurigaan adanya GO, swab bagian kripte anal di dalam anal ring. Jaga agar tidak ada kontaminasi feces.

* Segera tanam GO pada medium Thayer martin di samping tempat tidur pasien (ada baiknya dilakukan oleh staf mikrobiologi klinik).

Labelling

* Beri label sesuai identitas pasien.

* Tandai kuman pathogen yang dicari terutama GO

* Tandai waktu pengambilan pada orm permintaan.

Transport

* Khusus GO segera bawa ke laboratorium dalam waktu 30 menit. Karena kuman GO akan mati dalam lemari es tanpa CO2.

* Untuk kultur rutin ditanam dalam medium transport dan dimasukkan lemari es.

Jumat, 24 Desember 2010

HANDLING SPECIMEN

HANDLING SPECIMEN
Good Job You Can Trust

dr. Ridha Wahyutomo
Mahasiswa PPDS Mikrobiologi Klinik FK UNDIP
24 Desember 2010 jam 02.00 WIB


Pengertian
Handling specimen merupaka serangkaian kegiatan meliputi pemilihan, pengambilan, dan transportasi specimen atau materi tubuh yang akan diperiksa di laboratorium dalam rangka penegakkan diagnose. Hal ini dapat dilakukan karena dalam pemeriksaan penunjang akan didapatkan etiologi dan gambaran proses penyakit.

Panduan Awal
Ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh untuk handling specimen.
1. Tahap persiapan
Perlakukan semua specimen sebagai limbah berbahaya.
Jika memungkinkan, kumpulkan specimen sebelum pemberian antibiotika

2. Tahap pelaksanaan
Diambil dari tempat terjadinya infeksi yang sebenarnya.
Jaga specimen dari kontaminasi flora normal
Jumlah specimen harus adekuat

3. Tahap transportasi
Pergunakan alat pengambil specimen yang tepat, kokoh, steril, dan tehnik aseptic untuk menampung
Bila menggunakan swab maka dijaga kelembabanya dalam media transport.
Beri label tempat penampung specimen dengan:
nama lengkap pasien
usia
jenis kelamin
asal spesimen
Identifikasi asal spesimen
Kirim specimen segera ke laboratorium.

Kaidah Waktu Pengambilan Specimen
Tergantung dari proses penyakit dan kemampuan memproses specimen
Specimen yang lebih dari 24 jam harus sebaiknya tidak dipakai.
Beberapa specimen diambil pada waktu tertentu seperti sputum pagi sewaktu.
Khusus kultur darah kadang penting melihat kondisi klinis pasien. Kultur 3 kali dalam 24 jam sangat berguna dalam mendiagnosa septicemia
Selain proses laboratorium rutin, maka pengambilan specimen untuk beberapa pemeriksaan harus dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter spesialis mikrobiologi klinik.

Prosedur Transport Spesimen
Untuk kultur, segera kirim specimen dalam waktu 1 sampai 2 jam. Khusus urin jika akan ditunda harus dimasukkan lemari es, namun kurang baik menurut beberapa dokter spesialis mikrobiologi klinik karena bakteri dapat berkembang biak dalam 20-30 menit. Sehingga hasil palsu dapat muncul
Jika ditunda, maka pergunakan medium transport seperti Amies, Stuart, Cary-Blair.
Jangan menerima swab yang sudah kering atau tanpa medium dan normal saline.

Pemrosesan Spesimen Umum
Specimen diproses setelah ada permintaan dan labeling sudah lengkap.
Specimen tidak boleh diproses jika tempat specimen tidak tepat, tidak tepat mediumnya, dan penundaan pengiriman terlalu lama.
Specimen yang diambil dari tempat yang sama dalam 24 jam tidak boleh diproses kecuali ada indikasi yang telah disepakati antara dokter spesialis di bangsal dan dokter spesialis mikrobiologi klinik.

Dengan berjalannya kaidah handling specimen yang baik, maka diagnose dapat dipercaya dan penatalaksanaan terutama antibiotika tidak asal tembak tanpa tahu cara kerja, sasaranya, dan dosisnya. So, as a clinical microbiologist, we do a good job you can trust, INSYA ALLOH.

Rabu, 22 Desember 2010

Non Motil But In Motion

ACINETOBACTER

Non Motil But In Motion

dr. Ridha Wahyutomo

Mahasiswa PPDS-Mikrobiologi Klinik FK UNDIP

22/12/2010 03:00 WIB

Pendahuluan

Acinetobacter pertama kali diidentifikasi oleh Brisou dan Prevot pada tahun 1954. Kemudian oleh Beijerinck dari Delft Belanda, diisolasi dari tanah dan disebut sebagai micrococcus calco aceticus. Sebelum tahun 1986, pembagian species Acinetobacter dikelompokkan dalam berbagai kriteria. Namun standar identifikasi akhirnya mengacu kepada DNA-DNA hybridization yang dilakukan oleh Rossau pada tahun 1991. Dari hasil standarisasi tersebut didapatkan 19 genom spesies. Acinetobacter baumannii biasa ditemukan di lingkungan klinik, Acinetobacter johnsonii dan Acinetobacter lwoffii merupakan flora normal pada kulit manusia, ditemukan pula pada tanah dan lumpur.

Morfologi dan Biokimia

Secara morfologi, Acinetobacter merupakan kuman cocobacil yang kadang menyerupai Neisseria karena bentuk diplococcus, non motil, gram negative, tidak membentuk spora. Merupakan kuman aerob yang tidak menghasilkan warna ungu dalam reaksi dengan 1% tetramethyl p-phenylenediamine (tes oxidase negative) dan hal inilah yang membedakan Acinetobacter dengan Neisseria. Namun menghasilkan gelembung oksigen saat bereaksi dengan H2O2 (tes katalase positif). Selain itu juga mereduksi nitrat.

Epidemiologi

Acinetobacter dapat ditemukan secara bebas di tanah dan air. Kuman ini dapat diisolasi dari makanan terutama hasil olahan binatang dan dari kulit manusia normal. Dapat pula didapatkan dari membrane mukosa, sekresi vagina, sputum, urin, feces ataupun dari lingkungan rumah sakit. Dari lingkungan rumah sakit dapat diisolasi dari bak dialisa peritoneal, bed urinal, lap, kateter angiografi, hanscoen, bantal pasien, dan sebagainya.

Dalam dua decade ini Acinetobacter menjadi perhatian dan dianggap sebagai sumber infeksi oportunistik yang diwaspadai di rumah sakit. Selain itu Acinetobacter juga menunjukkan pola resistensi terhadap antibiotika, yang menyebar dengan cepat sebagai infeksi nosokomial. Di ruang ICU sering diapatkan pada tractus respiratorius. Pada bangsal umum isolate didapatkan dari luka, tractus urinarius.

Acinetobacter memicu outbreak nosokomial yang mengacu paa klasifikasi epidemic di rumah sakit menurut Hansen. Criteria Hansen tersebut yaitu,

1. Epidemic rumah sakit dipicu oleh satu tipe spesies

2. Epidemic rumah sakit dipicu oleh tipe yang berbeda dari setiap spesies atau spesies berbeda.

3. Epidemic rumah sakit dipicu oleh spesies berbeda dengan pola resistensi antibiotika sama

Penyebaran tersebut tampaknya berasal dari tangan staf kesehatan yang kontak dengan pasien yang terdapat kolonisasi Acinetobacter.

Berdasarkan data dari National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) tahun 1990 sampai 1992 dan dipimpin oleh CDC, menemukan Acinetobacter 4% menjadi penyebab nosokomial infeksi pneumonia. Sering ditemukan dalam bentuk VAP (Ventilator Acquired Pneumonia. Infeksi lain oleh karena Acinetobacter termasuk bakterimia, ISK, meningitis, endocarditis, infeksi okuler, osteomyelitis, dan peritonitis. Secara umum, infeksi Acinetobacter berhubungan dengan peralatan medis yang lau terjadi pada saat system pertahanan tubuh gagal sebagai kelanjutan adanya luka atau pembedahan. Neonates sangat rentan terhadap infeksi Acinetobacter.

Acinetobacter lwoffii diketahui juga berperan dalam bakteremia dengan tanda-tanda sepsis yang berat. Pada usia lanjut, bakteremia terjadi pada kondisi penyakit berat seperti malignansi, luka bakar, trauma, kolonisasi pada tractus respiratorius pasien luka bakar dengan intubasi. Pada pasien kateterisasi bakteremia terjadi meskipun tanpa melibatkan penyakit yang mendasari.

Meningitis oleh karena Acinetobacter tanpa kecuali, juga menjadi efek oleh karena intervensi neurosurgical.

CAP oleh karena Acinetobacter jarang terjadi namun merupakan penyakit berat. Alkoholisme, merokok, COAD dan DM merupakan faktor predisposisi. Pasien biasanya mengalami sakit akut dengan gejala dyspnoea, demam, batuk produktif, dan nyeri dada oleh karena pleuritis. Perjalanan klinis dapat memburuk dengan adanya syok, hypoxemia berat, granulocytopenia dan kultur darah positif.

Pathogenesis

Acinetobacter merupakan kuman oportunis. Meskipun hidup pada pH asam dan di suhu rendah, namun dapat menyerang jaringan vital.

Acinetobacter memiliki daya toksik/virulensi yang setara dengan Escherichia, Serratia marcescens, and Pseudmonas aeruginosa. Kapsul tidak berhubungan dengan virulensi. Tetapi kapsul meningkatkan aktifitas bunuh E.coli, S. marcescens dan P. aeruginosa. Pada isolate klinik didapatkan kerusakan jarinagn lemak oleh karena enzim yang menghidrolisis asam lemak rantai pendek. Endotoxin Acinetobacter menunjukkan aktifitas toksik yang sama dengan Enterobacteriaceae. Walaupun terdapat endotoxin yang merupakan senyawa lipopolisakarida, namun belum diketahui potensi endotoksik pada manusia.

Kuman ini juga mampu memproduksi bakteriocin dan bertahan hidup dalam kondisi kering.

Manifestasi Klinik

· Tractus Respiratorius

Merupakan tempat paling sering didapatkan Acinetobacter karena kolonisasi di faring di orang sehat dan pada tracheostomy. Pada anak sehat dapat menyebabkan community acquired bronchiolitis dan tracheobronchitis. Dapat pula terjadi tracheobronchitis pada dewasa. CAP oleh karena Acinetobacter pada dewasa dapat didasari alkoholisme, merokok, COAD dan DM. Pasien biasanya mengalami sakit akut dengan gejala dyspnoea, demam, batuk produktif, dan nyeri dada oleh karena pleuritis. Perjalanan klinis dapat memburuk dengan adanya syok, hypoxemia berat, granulocytopenia dan kultur darah positif.

CAP oleh karena Acinetobacter lebih sering terjadi pada daerah tropis, daerah dengan tingkat kesehatan rendah, penggunaan penicillin sering.

Akibat terbesar yang ditimbulkan oleh infeksi Acinetobacter adalah nosokomial pneumonia, yang lebih banyak oleh karena pemakaian ventrikulator, VAP. Infeksi pneumonia nosokomial ini dapat dipicu oleh intubasi ET, tracheostomy, terapi antibiotic sebelumnya, didapatkan dari ICU, tindakan bedah yang baru saja, penyakit paru yang mendasari.

ICU yang seharusnya steril dapat memberikan kontribusi penularan Acinetobacter dari alat ventrilator, hanscoen, perawat dengan kolonisasi Acinetobacter, cairan nutrisi parenteral yang terkontaminasi.

· Bacteremia

Nosokomial bakteremia oleh karena Acinetobacter biasanya berhubungan dengan adanya penyakit pada tractus respirasi, i.v. cath, tractus urinarius, luka, kulit, dan infeksi abdomen. Kadang disertai pula dengan syok septic dan dapat terjadi kematian pada Acinetobacter bakteremia.

· Genitourinary

Pada pasien dengan urethritis “menyerupai gonorrhea” yang resistensi penicillin kadang disalahartikan sebagai akibat infeksi Acinetobacter. Meskipun tractus urinarius bagian bawah terdapat kolonisasi Acinetobacter, namun jarang invasif. Walaupun begitu ada data yang menunjukkan terjadinya cystitis dan pyelonephritis pada pasien dengan kateter menetap.

· Meningitis

Meningitis oleh karena Acinetobacter jarang terjadi. Meskipun jika ditemukan berasal dari prosedur bedah saraf. Meningitis bermanifestasi kasar. Gambaran rash petechie tampak pada Acinetobacter meningitis.

· Jaringan lunak

Acinetobacter dapat menimbulkan cellulitis yang dihubungkan dengan i.v cath. Pada luka, trauma, luka bakar, dan insisi post operasi. Hal ini karena Acinetobacter dapat tubuh subur pada jaringan dan benda asing.

· Jaringan lain

Acinetobacter dapat menimbulkan infeksi di seluruh jaringan tubuh. Pada mata dapat menyebabkan conjungtivitis, endopthalmitis, perforasi kornea oleh karena kontaminasi contact lens. Endocarditis oleh karena katup buatan, osteomyelitis, septic arthritis, abses liver dan pancreas, juga pernah dilaporkan oleh karena Acinetobacter.

Terapi

Sangat sedikit dari antibiotik yang digunakan secara efektif untuk menangani infeksi nosokomial oleh karena Acinetobacte, terutama pada pasien di ICU. Antibiotika β Lactam hanya dapat dipakai setelah ada tes sensitivitas. Ticarcillin, sering dikombinasikan dengan sulbactam, ceftazidime, atau imipenem, dapat dipakai. Aminoglycosida kadang efektif bila dikombinasi dengan β Lactam, dan kombinasi lain dari β Lactam dengan satu fluoroquinolone atau rifampin juga pernah dikemukakan. Pada sebuah survei retrospektif di Perancis dari kebiasaan penulisan resep pada ICU, yang pertama diberikan untuk infeksi Acinetobacter meliputi amikacin, imipenem, ceftazidime, atau salah satu quinolone (pefloxacin atau ciprofloxacin). Pada 56% kasus, imipenem dianggap baik sebagai agen tunggal atau dikombinasi dengan amikacin (18%), sementara ceftazidime ditambah amikacin ditemukan pada 17% kasus dan amikacin dipergunakan seperti agen tunggal pada 26% kasus. Pada penelitian penggunaan antibiotika setelah tes kepekaan secara in vitro, kombinasi dari imipenem dengan aminoglycoside dipergunakan pada 59% kasus, ceftazidime dengan aminoglycoside dipergunakan pada 30% kasus, dan ceftazidime dikombinasi dengan quinolone dipergunakan pada 11% kasus. Pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa imipenem dipergunakan sebagai monotherapy pada 20% dari 33 kasus infeksi nosokomial, imipenem di kombinasi dengan amikacin dipergunakan pada 40% kasus, dan pefloxacin ditambah amikacin atau tobramycin (bergantung kepada antibiogram) dipergunakan pada 20% kasus. Kegagalan tata laksana dan kematian (disebabkan oleh infeksi Acinetobacter atau penyakit yang mendasari) terjadi pada 17% pasien yang mendapat antibiotika. Umumnya, antibiotika terbaru yang disrankan sebagai pilihan terapi infeksi Acinetobacter adalah penisilin spektrum luas, cephalosporins spectrum luas, atau imipenem, dikombinasikan dengan satu aminoglycoside.